Perang 2 Jenderal di Sudan Memburuk, Negara Asing Mulai Evakuasi Warganya
PARAMETERMEDIA.COM – Konflik bersenjata di Sudan saat ini sudah semakin memburuk dan mengancam keselamatan warga negara asing di negara itu.
Negara-negara asing yang memiliki kantor perwakilan di Sudan saat ini mulai mengevakuasi warga negaranya karena ancaman keselamatan, kekurangan pasokan air, makanan, obat-obatan dan bahan bakar.
Menurut PBB hingga saat ini perang telah menyebabkan 10 ribu orang mengungsi ke Chad, Mesir dan Sudan Selatan, melukai sekitar hampir 4 ribu orang dan menewaskan sebanyak hampir 500 orang.
Sejak kudeta yang terjadi pada Oktober 2021, pemerintahan Sudan dijalankan oleh dewan jenderal dan terdapat dua tokoh militer yang menjadi pusat perselisihan.
Kudeta militer melahirkan pemerintahan yang dijalankan oleh dewan jenderal, dengan dua kubu yang berselisih.
Kepala Angkatan Bersenjata Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan menjadi presiden setelah kudeta berakhir di negara itu, menyusul penggulingan Presiden Omar al-Bashir pada 2019 yang telah lama berkuasa.
Sementara itu wakilnya, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang saat ini memimpin kelompok paramiliter yang disebut Pasukan Pendukung Cepat (RSF).
Kedua Jenderal ini telah menolak wacana untuk merubah pemerintahan negara menjadi pemerintahan sipil.
Rencana itu juga menyebutkan peleburan 100.000 pasukan RSF ke tubuh militer, dan akan diputuskan siapa yang akan pemimpin pasukan baru tersebut.
Mengingat pasukan ini memiliki kekuatan hebat di luar instansi militer, kemudian penguasa saat ini dipandang sebagai ancaman berbahaya.
Pertempuran kemudian terjadi karena militer mulai melakukan penangkapan terhadap anggota RSF yang tersebar di seluruh negara itu
Pasukan paramiliter RSF lahir dari milisi Janjaweed, yang dibentuk oleh Jenderal Dagalo pada tahun 2013.
Pasukan ini dikenal sangat kejam saat menghadapi kelompok pemberontak di Darfur, dan terlibat dalam konflik di Yaman dan Libia, termasuk mengendalikan sejumlah pertambangan emas di Sudan.
RSF juga dilaporkan melakukan pelanggaran HAM karena pembantaian terhadap lebih dari 120 pengunjuk rasa pada Juni 2019 di Sudan.
Saat itu terjadi unjuk rasa besar-besaran di jalanan dengan muncul tuntutan pengunduran diri Omar al-Bashir yang berkuasa selama tiga dekade, saat inilahm militer melakukan kudeta.
Namun seiring perkembangannya, warga sipil terus menuntut partisipasi dalam rencana menuju pemerintahan yang demokratis.
Hingga pemerintahan bersama militer-sipil kemudian dibentuk, tapi digulingkan lagi dalam kudeta lainnya pada Oktober 2021.
Dan sejak itu, persaingan antara Jenderal Burhan dan Jenderal Dagalo semakin memuncak, para diplomat dari negara-negara lain yang ada di Sudan memperingatkan jika pertempuran terus berlanjut, negara akan terbelah dan memperburuk situasi pergolakan politik.
Sementara itu, warga sipil akan menanggung penderitaan karena perang dan ketidakpastian masa depan negara itu.*