Analisis Pengembangan Strategi Penerapan Akuakultur dengan Pendekatan Ekosistem(EAA) Komoditas Lobster (panulirus spp.) di Kabupaten Sukabumi
Penulis: Dr Wisriati Lasima, A.Pi,MP
Pada saat ini menurut FAO (2023), lobster merupakan salah satu produk perikanan termahal dalam perdagangan internasional. Rata-rata harga ekspor lobster mencapai USD 20,66 per kilogram lebih tinggi dibanding udang vaname yang memiliki harga ekspor sekitar USD 6,27 per kilogram (Rohmanurcaesari et al., 2024).
Lobster menjadi salah satu komoditas perikanan yang potensial dan termasuk kategori ekonomis penting untuk diekspor (Fauzi et al., 2016). Hal ini terbukti dari permintaan pasar domestik terhadap ekspor lobster yang meningkat (Rombe et al., 2018).
Indonesia merupakan negara pengeskpor utama benih lobster, tertutama ke negara-negara tujuan ekspor seperti, Hongkong, Vietnam, Thailand dan Singapura (Erlania et al., 2016).
Meningkatnya permintaan lobster dunia berpengaruh juga terhadap jumlah ekspor lobster di Indonesia selama periode tahun 2017-2022 (KKP, 2023).
Penyebaran lobster di Indonesia meliputi perairan pantai Barat Sumatera, Selatan Jawa-Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua. Beberapa tempat di pulau Jawa yang dijadikan pusat pengumpulan lobster diantaranya Lebak, Pandeglang, Sukabumi, Cianjur, Garut, Kebumen, Cilacap, Gunung Kidul, Blitar, Pacitan, Trenggalek, Tabanan, Jembrana (Bali), (Permana et al., 2017).
Kabupaten Sukabumi memiliki potensi yang cukup besar dalam pengembangan budi daya lobster, mengingat wilayah pesisirnya yang luas dan kondisi perairan yang mendukung pertumbuhan lobster.
Pada tahun 2020 periode bulan Juni-September jumlah tangkapan benih lobster di Kabupaten Sukabumi 14.098.038 ekor, tahun 2024 periode bulan Mei-Desember 12.289.444 ekor dan pada tahun 2025 jumlah tangkapan benih lobster di Kabupaten Sukabumi periode Januari – Mei mencapai 20.153.406 ekor, data ini menunjukkan potensi benih lobster yang besar sebagai sumber pendapatan nelayan dan devisa negara.
Penghentian eksport benih lobster ke Vietnam menjadi masalah sosial ekonomi nelayan, sementara budi daya lobster belum berkembang, permasalahan pada budi daya lobster adalah tingginya gelombang, arus yang kuat dan jaringan distribusi pakan yang belum memadai serta tingkat kelulus hidupan lobster yang rendah (KKP, 2022a).
Dalam Suran Edaran Nomor B. 45/MEN-KP/I/2022 tentang Lalu lintas Benih Bening Lobster (puerulus) di Wilayah Negara Republik Indonesia Untuk Kegiatan Pembudidayaan dinyatakan bahwa tingkat keberhasilan hidup benih bening lobster hanya 0,01% sehingga apabila tidak dibudidayakan berpotensi punah dan tidak dapat dinikmati manfaatnya, baik oleh nelayan, pembudidaya dan masyarakat umum (KKP, 2022).
Permintaan global yang tinggi terhadap lobster dan benihnya, terutama dari negara-negara seperti Vietnam, Tiongkok dan Singapura telah mendorong penangkapan berlebihan. Aktivitas eksploitasi yang intensif ini berdampak pada penurunan populasi lobster di habitat aslinya. Kondisi ini diperparah oleh tingkat kelangsungan hidup benih lobster yang rendah, sehingga menghambat pertumbuhan populasi lobster dewasa.
Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara tingginya permintaan pasar dan ketersediaan sumber daya alam, yang berpotensi mengancam keberlanjutan lobster (Apriliana et al., 2025). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan maka harus dilakukan pengembangan strategi budi daya lobster.
Pemanfaatan sumberdaya alam perlu diarahkan untuk mencapai tujuan berkelanjutan, maka diperlukan strategi pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (Akoit & Nalle, 2018; Mustaruddin et al., 2024).
Kondisi inilah yang mendorong paradigma pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan budi daya yang berkelanjutan menjadi kebutuhan penting untuk menghadapi berbagai ancaman, sehingga pelaksanaannya harus dilakukan melalui pendekatan multidimensi dan multisektor.
Sejak tahun 2008, Food and Agriculture Organization (FAO) telah menegaskan pentingnya pembangunan perikanan budidaya dengan menggunakan pendekatan berbasis ekosistem atau Ecosystem Approach to Aquaculture (EAA).
Selama dua dekade sebelumnya, FAO lebih menitikberatkan perhatian pada ketahanan pangan, namun kini fokusnya beralih pada perencanaan serta pengelolaan budidaya yang berkelanjutan, bertanggung jawab, dan terintegrasi.
Upaya menuju perikanan yang berkelanjutan sebenarnya telah dirintis FAO sejak tahun 2003 melalui pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF).
Pendekatan ini disusun sebagai pedoman dalam penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), yaitu seperangkat prinsip dan standar internasional untuk mewujudkan praktik perikanan yang bertanggung jawab.
Pertumbuhan pesat sektor perikanan budidaya serta interaksinya dengan berbagai sektor ekonomi dan pemanfaat sumber daya alam lain semakin menegaskan perlunya pendekatan yang terintegrasi dan bertanggung jawab. Dari sinilah lahir konsep EAA sebagai pijakan awal pengelolaan budidaya perikanan modern (Lasima W, 2022).
EAA merupakan sebuah pendekatan budi daya berbasis ekosistem yang memiliki strategi keberlanjutan (Andayani et al., 2018). Konsep EAA memandu pengembangan sektor secara keseluruhan dengan strategi untuk : 1) menyediakan perencanaan dan pengelolaan pembangunan perikanan budi daya terintegrasi secara efektif; 2) menyediakan mekanisme yang jelas bagi pembudidaya dan otoritas pemerintahan untuk terkait satu sama lain dalam pengelolaan budi daya perikanan yang efektif dan berkelanjutan; 3) merangkul tujuan pemerintah, lingkungan dan sosial ekonomi (Brugère et al., 2019).
Penerapan EAA memenuhi 3 prinsip dasar yaitu: 1) pengembangan dan pengelolaan perikanan budidaya harus dijalankan dalam kontek fungsi dan layanan ekosistem; 2) Perikanan budi daya harus meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan untuk semua pemangku kepentingan yang relevan; 3) Perikanan budidaya harus dikembangkan dalam konteks terintegrasi dengan sektor terkait atau sektor disekitarnya, termasuk kebijakan dan tujuannya (FAO, 2010).
Prinsip pertama EAA dicapai melalui pemenuhan syarat bermacam-macam indikator dimensi ekologi. Indikator tersebut menunjukkan daya dukung lingkungan serta sumber daya yang terkandung didalamnya terhadap keberlanjutan budi daya perikanan serta semua kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat yang berlangsung di kawasan ekologi (FAO, 2010). Prinsip kedua EAA dapat dipenuhi melalui pemenuhan berbagai indikator dimensi ekonomi.
Dimensi ekonomi menunjukkan mampu atau tidak suatu kegiatan (teknologi) pemanfaatan sumber daya untuk perikanan budidaya memperoleh hasil, yang secara ekonomis dapat berjalan jangka panjang dan berkelanjutan.
Prinsip kedua EAA juga dipenuhi berbagai syarat indikator dimensi sosial, yang menunjukkan begaimana sistem sosial masyarakat perikanan budidaya yang terjadi dan berlangsungnya pembangunan budi daya perikanan dalam jangka panjang serta berkelanjutan.
Prinsip ketiga EAA diwakili dimensi kelembagaan , dimensi ini menunjukkan derajat pengaturan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat terhadap lingkungan perairan dan sumberdaya perikanan budidaya yang ada di dalamnya.
Semakin baik pengaturan yang dilakukan maka semakin dapat menjamin sektor/kegiatan ekonomi termasuk sektor perikanan budidaya dapat berjalan dalam jangka panjang serta berkesinambungan.
Perlu dipahami EAA merupakan sebuah pendekatan yang berfokus pada bagaimana cara agar pemangku kepentingan berpartisipasi untuk merumuskan apa yang harus dilakukan untuk menciptakan budidaya perikanan yang berkelanjutan serta penerapannya (FAO, 2010). Penerapan prinsip EAA ini ditujukan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan budi daya perikanan.
Implementasi EAA dilakukan dengan mengkondisikan tanggungjawab sosial dan lingkungan secara terintegrasi mulai dari perencanaan sampai dengan pengelolaan, yang didukung oleh integrasi lintas sektoral dan pengelolaan sumberdaya. Dengan adanya upaya penerapan EAA diharapkan dapat terbangun kerja sama antara pemangku kepentingan dari perencanaan hingga pengelolaannya (Kurniati et al., 2018).
Sejak 2008 FAO telah menyatakan bahwa akuakultur berkelanjutan memang harus dilakukan melalui pengembangan akuakultur yang berbasis pendekatan ekosistem ADPE (Lasima et al., 2021).
Penelitian tentang keberlanjutan perikanan budi daya lobster di Indonesia berdasarkan prinsip EAA belum pernah dilakukan, sehingga terhentinya kegiatan budi daya lobster yang sebelumnya pernah ada pada tahun 2020-2024 di Kawasan Pantai Cikembang Kabupaten Sukabumi menjadi hal yang menarik untuk diteliti dan bagaimana pemerintah dapat membangkitkan kembali kegiatan tersebut sebagai motor penggerak roda perekonomian masyarakat pembudidaya.
Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan model. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh (Silvert and Cromey, 2001) bahwa “Pemodelan memainkan peran penting dalam menentukan batas yang dapat diterima untuk budidaya perikanan atau dampak antropogenik lainnya, karena tanpa model prediktif kita tidak dapat menilai apakah dampak tersebut dapat diterima sampai dampak tersebut terjadi dan diamati, yang hampir selalu sudah terlambat.”
Kontemplasi dari pernyataan diatas menstimulasi kita berfikir dan memunculkan pertanyaan pertanyaan : (1) Bagaimana daya dukung lingkungan kawasan budi daya pantai cikembang saat ini ? (2) Bagaimana status keberlanjutan perikanan budi daya lobster di kawasan pantai cikembang mengacu pada indikator EAA? (3) Faktor faktor kritis apa yang mempengaruhi tingkat keberlanjutan perikanan budi daya lobster di kawasan pantai cikembang? Serta (4) Strategi apa yang dibutuhkan dalam pengelolaan perikanan untuk mewujudkan budi daya lobster berkelanjutan di kabupaten sukabumi?
Pertanyaan tersebut menjadi landasan dasar penelitian pengembangan strategi penerapan budi daya lobster berdasarkan EAA di Kawasan Pantai Cikembang, Kabupaten Sukabumi. Keberhasilan kegiatan perikanan budidaya lobster di Kabupaten Sukabumi perlu dikembangkan, namun demikian eksploitasi perikanan budi daya tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan merupakan ancaman keberlanjutan layanan dan fungsi ekosistem, maka dibutuhkan kebijakan pengelolaan perikanan budi daya lobster dalam rangka mewujudkan perikanan budi daya lobster berkelanjutan.**














