Taliban Sukses Berantas Produksi Opium, Petani Terancam Kemiskinan di Afghanistan
PARAMETERMEDIA.COM – Sejak pelarangan produksi narkoba diberlakukan pemerintahan Taliban di Afghanistan, produksi opium turun drastis.
Sebelumnya setelah invasi AS ke negara itu pada akhir tahun 2001, produksi opium kembali meningkat dan menjadi pemasok terbesar dunia.
Sebuah video BBC memperlihatkan bagaimana upaya pemberantasan oleh Taliban.
Sebuah riset yang dilakukan oleh kelompok riset Alcis mengungkapkan bahwa penanaman opium di Afghanistan telah menurun drastis setelah larangan produksi opium diberlakukan pada April 2022.
Produksi poppy, tanaman opium yang dipanen dari dan berfungsi sebagai pendahulu opiat lain seperti heroin, mengalami penurunan tajam di provinsi Helmand, yang sebelumnya merupakan produsen terbesar di Afghanistan.
Video lain yang direkam pada 2018 memperlihatkan anak-anak dipekerjakan untuk produksi opium dibawah pengawasan militer Inggris.
Di provinsi ini sebelum diberlakukan larangan penanaman mencapai hampir 300.000 hektar, namun sejak dilarang pada tahun 2022, tahun ini hanya mencapai sekitar 1.000 hektar.
Menurut Alcis, yang mengutip citra satelit beresolusi tinggi dan penelitian lainnya, bahwa produksi poppy turun hingga 99%.
Saat ini sebagian besar lahan yang sebelumnya ditanami poppy kini difokuskan untuk menanam gandum.
Dengan pengurangan produksi tersebut, saat ini harga opium telah meningkat di Afghanistan meningkat menjadi 360 dolar AS hingga 475 dolar AS per kilogram.
Ini berarti kenaikan harga opium mencapai sekitar 500 persen hingga 690 persen, dari harga sebelumnya yaitu sebesar 60 dolar AS pada tahun 2020.
Sebelumnya larangan penanaman pada tahun 2000-2001, menyebabkan harga opium naik dari 30 dolar AS pada tahun 2000, menjadi rekor tertinggi sebesar 700 dolar per kilogram pada tahun 2001.
Hingga pada tahun 2008, harganya turun menjadi 92 dolar AS.
Pemimpin Taliban Mullah Haibatullah memberlakukan larangan narkoba pada April 2022, yang ditanggapi dengan skeptis oleh Barat dan media, ditambah ketika PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) mengeluarkan Laporan tahunan Produksi Poppy Afghanistan tahun itu, yang menyatakan bahwa produksi telah meningkat 32%.
Pada tahun 2021 terjadi penurunan produksi opium di Afghanistan, karena cuaca dengan penurunan sekitar 10% dari tahun 2020. Hal ini membuat banyak pihak meragukan keseriusan Haibatullah dalam menegakkan larangan tersebut.
Skeptisisme itu meningkat ketika Taliban merilis video yang menunjukkan traktor menghancurkan ladang opium kecil yang baru ditanam, sementara poppy setinggi dada yang hampir bisa dipanen tetap tidak tersentuh di latar belakang.
Taliban akhirnya memutuskan untuk tidak menghancurkan tanaman tersebut karena akan membuat petani, kehilangan banyak tenaga dan uang untuk membudidayakannya, yang mungkin akan menyebabkan kerusuhan massal di negara tersebut.
Pemerintah Taliban fokus pada musim tanam kedua dan ketiga pada tahun itu, dengan membatasi agar panen jauh lebih kecil, namun petani yakin bahwa Taliban akan menghancurkan lebih banyak tanaman pada musim berikutnya.
Taliban juga menggunakan tahap awal larangan untuk fokus pada penghancuran pasar metamfetamin yang berkembang.
Menurut penelitian itu larangan akan berdampak pada ekonomi penduduk Afghanistan. Banyak orang miskin Afganistan menghasilkan sepertiga atau lebih dari pendapatan mereka dengan menanam bagi hasil di ladang opium.
Sementara pemilik tanah besar, yang mampu menyimpan stok mereka sampai harga naik dan melihat keuntungan besar kemungkinan besar harus segera menjualnya.*